Judul Buku
|
:
|
Tiga Puntung Rokok
|
Penulis
|
:
|
Nasjah Djamin
|
Penerbit
|
:
|
Pantja Simpati
|
Tahun Terbit
|
:
|
1985
|
Dalam Tiga Puntung Rokok seorang pensiunan PNS merantau
kembali ke Jakarta untuk bergelut kembali dengan dunia kesenian yang pernah
ditapakinya demi mencukupi kebutuhan keuangan keluarga dan mendapatkan kembali
kepercayaan diri.
Pensiunan itu bernama Masri. Saat muda, dia adalah seorang pelukis, penulis, dan pekerja film yang menggelandang di Jakarta demi meniti karir. Tapi, dia memutuskan untuk meninggalkan dunia itu dan memilih jadi PNS di Yogyakarta karena tak tahan cara kerja dunia kesenian di sana. Saat muda, dia tak mau mengkompromikan idealismenya dengan tuntutan komersil. Hasilnya, dia mengubur mimpi karir seninya dan hidup pas-pasan, sedangkan banyak teman sepantarnya sudah menjadi orang penting di Jakarta. Karena tidak mau berkompromi dalam berkesenian, Masri akhirnya menjadi kere.
Kembalinya Masri ke Jakarta berarti dia terlibat kembali dengan seluk-beluk masa lalunya. Hasrat untuk kembali pertama-tama muncul karena sindiran anaknya bahwa dia gombal. Keputusan baru ditetapkan saat dia mendapat surat ajakan Darso untuk membantu penggarapan filmnya. Di sela keterlibatannya dalam penggarapan itu dia diminta seorang redaktur untuk menggarap buku anak proyek Inpres. Dia juga bertemu kembali dengan Marsina dan Tumi, perempuan-perempuan yang dulu pernah memadu kasih dan mengucap janji mengejar cita bersama dengannya. Dia sempat hanyut dengan pekerjaannya dan perempuan-perempuan sampai-sampai dia bersikap seromantik masa mudanya. Tapi, pergulatannya lebih lanjut dengan hal-hal itu mengingatkannya bahwa keadaan dia sekarang tidak sama dengan keadaan dia semasa muda. Pelibatan kembali dengan hal-hal dari masa lalunya membuat Masri menimbang ulang nilainya.
Pekerjaan Masri di Jakarta paralel dengan perempuan-perempuan yang dihadapinya. Demi mendapatkan dana untuk produksi film, Masri mesti menuruti cukong yang ingin disediakan perempuan. Dia juga menuruti keinginan seorang redaktur untuk menulis buku anak yang sesuai dengan karakter buku Inpres. Sebenarnya dia tidak sepaham dengan kedua hal itu. Sementara itu, Marsina, yang dulu meninggalkan Masri karena dijodohkan oleh orang tuanya, kini menjadi simpanan seorang pembesar. Tumi pun saat bertemu kembali dengan Masri masih menjadi pelacur walaupun saat itu dia menyatakan keinginannya untuk berhenti. Mira, perempuan muda yang ingin terlibat dalam dunia film, rela dijadikan sajen bagi cukong demi mendapatkan peran. Masnun, perempuan muda yang jatuh cinta pada Masri, rela menjadi perempuan simpanan demi melunasi hutang ibunya. Interaksi dengan perempuan-perempuan itu membuat Masri merenungkan juga pekerjaannya: Menjual diri –dalam kasus Masri, menanggalkan idealismenya—adalah harga yang harus dibayar untuk bisa bertahan hidup. Begitulah aturan mainnya.
sumber gambar: kardusbuku.com |
Tokoh-tokoh lain adalah bandingan bagi keadaan Masri. Dalam
hal kemapanan, ada dua kubu, yakni kubu Darso dan kubu Raidin. Darso dan
teman-teman pelukis Masri di Ancol sudah tua tapi masih terkatung-katung meniti
karir film, sedangkan Raidin sudah menjadi orang gede. Di antaranya Masri
condong ke arah Darso, tapi dia ditarik ke arah Raidin oleh keinginan anaknya
dan harga dirinya. Untuk mencapai posisi Raidin, dia melewati jembatan yang
diejawantahkan oleh perempuan-perempuan yang ditemuinya di Jakarta.
Perempuan-perempuan itu memutuskan untuk menjual dirinya demi mencapai keinginannya.
Pada akhirnya, Masri menempuh jembatan itu. Sementara itu, Masnun menjadi
pengejawantahan semangat muda Masri. Keterlenaan Masri saat bertemu kembali
dengannya menunjukkan bahwa Masri masih memegang angan-angan masa mudanya:
sukses dalam bidang yang ingin digelutinya (seni). Sementara itu, hubungan Mira
dan Satiyo adalah bandingan bagi hubungan Masri, Marsina, dan Masnun. Satiyo
meniduri Mira yang merupakan keponakannya, sementara Masri meniduri Masnun yang
merupakan anak perempuan yang dicintainya. Sebagaimana Mira dengan Satiyo,
Masri pun memutuskan untuk tidak meneruskan hubungan pribadi dengan Marsina dan
Masnun setelah menyadari kenyataannya. Ini adalah dasar keputusan Masri ketika
memutuskan untuk menanggalkan idealismenya. Perbandingan ini disadari oleh
Masri dan inilah yang banyak mendasari tindakan-tindakannya.
Dalam buku ini Nasjah Djamin menunjukkan kekuasaannya sebagai penulis atas tokoh-tokohnya. Dia banyak menggunakan kebetulan-kebetulan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa penting. Yang paling vital adalah reuni Masri dan Marsina di salah satu jalanan Jakarta ketika Masri sedang keram betis. Selain itu, pertemuan Masri dengan redaktur yang akhirnya memberinya proyek buku anak Inpres. Pertemuan itu terjadi begitu saja di tengah jalan. Kebetulan lainnya adalah kenyataan bahwa Mira ternyata keponakan Sutiyo, seorang cukong yang menidurinya. Yang juga kebetulan tapi padahannya cukup melancarkan kemunculannya adalah kenyataan bahwa Masnun adalah anak Marsina, yang saat masih kanak-kanak erat dengan Masri. Padahannya adalah namanya. Masri mengenal dengan anak itu dengan nama Nunung. Masnun pun lebih suka dipanggil Nun oleh Masri. Kekuasaan penulis atas cerita ditunjukkan lewat banyak penggunaan kebetulan sebagai sarana penggedor alur.
Tiga Puntung Rokok adalah perenungan kembali idealisme masa muda setelah seseorang mencapai usia tua dan dibentur kenyataan sehingga dia menanggalkannya. Meskipun penanggalan idealisme adalah suatu hal yang pesimistik, ironisnya, keputusan itu digambarkan penuh harapan.