Judul Buku
|
:
|
Selamat Datang di Pengadilan
|
Penulis
|
:
|
Daniel Mahendra
|
Penerbit
|
:
|
Malka
|
Tahun Terbit
|
:
|
2001
|
Selamat Datang di Pengadilan berisi kisah-kisah temaram
beberapa kalangan mahasiswa dan disusupi tiga kisah yang menyimpang dari topik
itu.
Kalau bukan mahasiswa aktivis, kebanyakan tokoh utamanya
adalah mahasiswa jurnalistik yang punya ketertarikan terhadap isu-isu kiri atau
setidaknya mahasiswa yang idealismenya menggebu-gebu. Mereka dipertentangkan
dengan pemerintah (misalnya, “Bangsaku Yang Fasis” dan “Pacarku Seorang Penyair”),
kampus (misalnya, “Kemudian Jadilah Ia Wartawan” dan “Pacarku Seorang Asisten
Dosen”), orang tua (misalnya, “Dia yang Telah Pergi”), dan sesama mahasiswa
atau pacarnya yang berpandangan hidup bertolak belakang (misalnya, “Generasiku
Generasi Borjuis”). Dalam pertentangannya, mereka frontal. Seorang anak
membantah saat bapaknya melarang terlibat dalam gerakan mahasiswa. Seorang
dosen diejek mahasiswa yang juga pacarnya karena dianggap tidak becus mengajar.
Seorang mahasiswa yang getol meneliti dan peka politik dibandingkan dengan
pacarnya yang suka memakai narkoba dan melakukan seks bebas. Sikap sekumpulan
mahasiswa aktivis terhadap rezim dibandingkan dengan sikap mereka terhadap
mahasiswa baru saat ospek. Terhadap orang yang berbeda pandangan atau terhadap
hal yang mereka anggap salah, mereka bersikap konfrontatif.
Sayang sekali, persoalan yang potensial ini justru diredam
oleh cara bertutur ceritanya. Kebanyakan cerpen di sini dituturkan oleh tokoh
yang terlibat di dalam cerita tapi sekaligus serba tahu tentang perasaan dan
kejadian yang dialami oleh tokoh lain sekalipun mereka tak bersamanya. Satu dua
cerpen luput dari perangkap ini, seperti “Bangsaku yang Fasis” yang berisi
pembandingan reaksi tokoh terhadap dua hal yang senada. Omongan-omongan
pretensius meledak-ledak dalam adegan yang janggal untuk itu. Contoh paling
ekstrimnya ada di dua di antara tiga cerpen yang tokohnya menyimpang dari
konvensi tokoh dalam buku ini: dalam perdebatan tentang aborsi atau nikah,
sepasang kekasih meributkan kekejaman umat manusia (“Cerita Abad Baru”),
sementara itu dalam cerita lain seorang pegawai bicara dengan malaikat pencabut
nyawa tentang negara, korupsi, dan nafsu manusia (“Sudah Siapkah Kau”). Seperti
yang sudah disebutkan, beberapa tokoh dalam kumpulan cerpen ini adalah mahasiswa
jurnalistik. Tampaknya itu berpengaruh terhadap cara bertutur beberapa cerita. Misalnya,
kita akan mendapatkan laporan ekonomi dan sosial suatu daerah di Jawa Timur
dalam “Suatu Malam di Gelap Timur”. Barangkali itu dijadikan semacam
pembayangan yang memungkinkan seorang tokohnya diperkosa. Hanya saja rasanya
seperti membaca laporan yang berisi data di koran. Kering. Suspens cerita
justru diredam. Lunturlah daya pengaruhnya.
Judul Selamat Datang di Pengadilan adalah isyarat bahwa
pembaca akan didamprat dengan kisah-kisah dengan nada menggugat dan mengadili
pihak yang mestinya bertanggung jawab atas kemalangan yang menimpa
tokoh-tokohnya. Sayangnya, caranya mengadili malah mengurangi simpatiknya.