Orang-Orang Favorit Saya Tinggal di Jalan Miguel
Judul Buku: Jalan Miguel
Penulis: V.S. Naipaul
Penerjemah: Lutfi Mardiansyah
Penerbit: Trubadur
Tahun Terbit: 2018
Omongan John Lennon amat cocok untuk memulai pembicaraan
ini. Ada tempat-tempat yang saya ingat sepanjang hidup walaupun beberapa di
antaranya telah berubah. Tapi semua
tempat itu punya momennya sendiri-sendiri. Itulah yang terbersit ketika
baru-baru ini seorang teman mengajak saya ke suatu daerah dan bercengkerama
dengan para penduduknya.
Tempat itu berada di Pelabuhan Spanyol, Trinidad Tobago.
Namanya Jalan Miguel, sebuah daerah yang katanya kumuh tapi dipenuhi
orang-orang berkepribadian menarik. Dari montir yang suka menyanyikan
larik-larik Ramayana, tukang kembang
api yang ingin sekali membuat orang tertawa, sampai ibu-ibu yang punya anak
delapan dari tujuh lelaki.
Kadang saya menjumpai mereka di dalam rumahnya. Lebih sering
dia mengajak saya menemui mereka di tempat nongkrong favorit kebanyakan mereka:
di trotoar depan rumah seorang lelaki yang amat dihormatinya. Begitulah sambil
kadang saling pamer kehebatan, membual, dan menggunjingkan perang, tentara,
sampai naik turunnya peruntungan orang-orang yang ada di Jalan Miguel (terutama
dalam hal bercinta), mereka nyanyi bersama lagu kalipso.
Di antara semua sahabat dan orang-orang yang dimabuk cinta
itu ada tiga orang yang sering saya pikirkan sepulang dari sana. Satu orang
dijuluki Big Foot. Sebagaimana julukan itu, penampilannya sangar. Kegarangan
itu makin bertambah karena dia tidak banyak omong dan tatapannya tajam.
Katanya, waktu dia kerja sebagai supir bus dia pernah menyuruh semua
penumpangnya mandi di tengah perjalanan dan mereka semua manut, bahkan tentara
Amerika saja langsung ngacir waktu dia menyuruhnya pergi. Konon seni melunakkan
orang. Tapi tukang perkusi ini bahkan makin jutek ketika dia khusyuk
menggebuk-gebuk drum.
Cuma saya sedih juga waktu mendengar masa lalunya. Katanya
dulu bapaknya suka memukulinya dan anak-anak sebayanya suka menggencetnya
sampai-sampai dia jadi pelari tercepat saking dia suka lari terbirit-birit
kalau sudah begitu. Saya sebenarnya diam-diam geram pada orang-orang di Jalan
Miguel waktu mereka menertawakannya dalam acara yang sebenarnya amat
membanggakan mereka. Ya ampun! Padahal dia sudah bertindak sebaik-baiknya
sehormat-hormatnya.
Sementara itu, saya tidak pernah mendengar mereka
menertawakan orang satu lagi tapi saya merasa mereka menganggapnya agak aneh.
Titus Hoyt memang cukup eksentrik. Dia punya pemikiran-pemikiran yang agak
kurang pas dengan lingkungan Jalan Miguel. Dia berniat mendidik bocah-bocah di
sana supaya bisa berbahasa Latin, menikmati sastra, dan mempelajari sejarah,
sedangkan anak-anak itu hanya menikmati film. Memang saya akui dia itu agak
terlalu ngeyel kepengen mengajar. Dalam dirinya ada semacam dorongan untuk
mendidik yang keterlaluan sehingga kadang dia jadi menggurui.
Tapi saya kira itu mula-mula berasal dari niat baiknya untuk
menyebarkan ilmunya sebagai orang bergelar Intermediate of Arts. Dia itu punya
niat baik yang besar. Kalau tidak begitu, mana mungkin dia mau mengantar pulang
anak yang tersesat sampai ke rumahnya dan amat mempedulikan gizi dan
pendidikannya? Cuma ya memang terselip secuil sikap menyebalkan di antara
kebaikan itu. Tapi toh itu tidak membatalkan kebaikannya, bukan?
Satu lagi adalah orang yang amat dihormati oleh teman saya
itu. Selalu ada Hat dalam setiap kejadian yang melibatkan orang-orang dari
Jalan Miguel. Dia itu semacam pemimpin tongkrongan yang suka saya datangi itu.
Bahkan teman saya amat suka mengutip kata-katanya ketika bercerita tentang
segala macam. Yang paling saya ingat adalah ketika dia bilang bahwa seringkali
kalau kita amat menginginkan sesuatu, ketika kita mendapatkannya, kita justru
amat tidak menyukainya.
Lebih-lebih saya takjub pada Hat ketika dia sendirian
menghabiskan waktu. Dia jarang melakukan tindakan luar biasa, bahkan bisa
dibilang kegiatannya amat rutin. Tapi dia amat sangat menikmati segala yang
dilakukannya. Dari mulai jadi bandar judi kecil-kecilan, nonton kriket,
mengurus beo dan nuri, sampai mengibuli bocah-bocah. Orangnya santai kayak di
pantai pula. Setelah cukup lama bercengkerama dengannya, saya akhirnya mengerti
kenapa teman saya itu amat hormat padanya.
Tahu tidak kenapa saya menulis semua ini dengan gaya
seakan-akan saya sungguhan pernah ke Jalan Miguel dan sungguhan pernah bertemu
dengan puluhan orang yang hidup di sana, padahal tempat itu amat jauh dari
Indonesia dan bahkan mereka semua ada pada zaman Perang Dunia II? Kenapa saya
sok akrab banget dengan orang-orang yang saya tulis kali ini?
Jawabannya adalah karena teman saya itu, si V.S. Naipaul,
amat intim dengan mereka dan amat mesra selama menceritakannya pada kita.
Jadilah saya merasa bukan sedang menghadapi kata-kata yang berderet dalam buku,
melainkan orang yang bercerita tentang tempat dan orang-orang yang begitu
berarti baginya dengan tatapan menerawang. Jadi saya menulis semua ini dalam
keadaan masih tertular keakrabannya. Membaca buku ini, rasanya seperti
mendengarkan “In My Life” John Lennon dalam bentuk kisah yang bahkan
keharuannya lebih melekat lagi. Membuat kita teringat pada segala kenangan
tentang orang-orang dan tempat-tempat yang amat berarti bagi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar