Judul Buku
|
:
|
Langit dan Bumi Sahabat Kami
|
Penulis
|
:
|
Nh Dini
|
Penerbit
|
:
|
Gramedia
|
Tahun Terbit
|
:
|
1990 (pertama kali terbit tahun 1979)
|
Langit dan Bumi Sahabat Kami berisi kebangkitan naluri
artistik dan kesadaran tentang hubungan laki-perempuan dalam diri seorang anak
perempuan, kesulitan ekonomi, dan lika-liku gerakan bawah tanah dan pengaruhnya
terhadap orang-orang terdekat mereka pada masa pendudukan Sekutu di Semarang.
Buku ini membahas musabab kebangkitan naluri artistik dan
fungsi ekspresi artistik dengan menggunakan Dini, penceritanya, sebagai contoh
kasus. Pada masa pendudukan Sekutu Dini tidak bisa berhubungan dengan
orang-orang yang dekat secara emosional dengannya: Mariam, kakaknya, dan Edi,
sepupunya. Hubungannya dengan anak-anak tetangga pun hanya selintas saja. Dini
sendiri bukan anak yang suka berbicara walaupun tidak berarti tidak punya
pendapat tentang apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Dia sudah bisa membaca.
Bapaknya mengajarinya membaca dengan buku Rabindranath Tagore. Dia juga sering
diajarkan lagu-lagu yang lazim dinyanyikan anak-anak pada masa itu. Dalam
keadaan semacam itulah tumbuh perlahan nalurinya untuk mengekspresikan
perasaannya, terutama kerinduannya pada dua orang tadi. Pada awalnya dia hanya mengubah
lirik-lirik lagu yang diketahuinya dengan hal-hal yang mengekspresikan
kerinduannya itu. Lama-lama dia menuliskannya. Ekspresinya itu membuatnya bisa
bertahan dalam kesepian itu. Di sini naluri menulis muncul dari kesepian dan
pertama-tama digunakan untuk melipurnya.
Di tengah keadaan itu Dini mendapatkan kesadaran tentang
hubungan antara laki-perempuan. Yu Kin melahirkan. Dia mengeluhkan keadaan
fisik bayinya pada Yu Saijem, mantu pembantu keluarga Dini. Yu Saijem berkata
soal “suami-istri campur” saat menjelaskan persoalan Yu Kin. Dini, seorang anak
yang rasa ingin tahunya besar, yang menjadi saksi percakapan itu kemudian
bertanya lebih lanjut pada Yu Saijem. Itulah pertama kalinya dia mendapatkan
penjelasan yang sangat gamblang tentang persetubuhan laki-perempuan. Lebih jauh
lagi, Dini kemudian mengetahui pelacuran lewat Yu Saijem. Kang Marjo, suami Yu
Saijem, ditangkap tentara Sekutu. Keadaan ekonomi sedang sulit. Pada masa itu
Dini sering melihat Yu Saijem jalan dengan lelaki yang berbeda-beda. Rasa ingin
tahu itu mengantarkannya pada pengetahuan tentang pelacuran. Dalam menerima dua
pengetahuan ini, Dini bersikap reseptif, atau lebih tepatnya polos. Meskipun
demikian, kecenderungannya untuk merenung justru membuat dia tidak bersikap
menghakimi atas persoalan semacam itu. Dia menilainya dengan mempertimbangkan
kebutuhan ekonomi dan kebutuhan seksual seseorang.
Pada masa pendudukan Sekutu di Semarang barang-barang
kebutuhan serba sulit karena jalan-jalan ke luar kota diblokade. Sumber-sumber
air pun kering atau kotor. Bahan makanan yang beredar di pasaran berkualitas
buruk karena terlalu lama ditimbun. Harga-harga mahal di pasaran umum, apalagi
di pasar gelap. Dampaknya, apa pun yang bisa dijadikan bahan makanan gratis
diperebutkan. Tumbuhan dan pohon di tanah kosong di tangsi polisi dekat rumah
Dini dihisap habis oleh orang-orang. Pada masa-masa ini kemampuan masak ibu
Dini menyelamatkan perut keluarga. Bahan-bahan yang kurang enak diolah jadi
bisa diterima lidah. Segala sumber daya diusahakan diamankan, terutama dari
tentara Sekutu yang suka seenaknya mengambil barang-barang di rumah warga.
Keluarga Dini menyembunyikan ayam agar telurnya bisa dijual, ditukar, atau
dimakan sendiri. Barang-barang dijual supaya dapat modal untuk membeli
kebutuhan. Sistem barter pun digunakan lagi. Sering keluarga Dini bolak-balik
ke Pasar Johor untuk membarter barang dengan apa-apa yang dijajakan di sana.
Pada masa ini Dini mendapatkan pelajaran etika tentang kepemilikan, berbagi,
dan sikap politis. Palang Merah Belanda memberikan bantuan pada warga. Bapak
Dini menolak menerimanya karena tidak mau bekerja sama dengan kubu Sekutu,
sedangkan ibunya justru menerimanya. Mereka berdebat. Pembelaan ibu Dini adalah
barang-barang ini bisa diberikan pada kenalan-kenalan yang membutuhkan. Saat
itu keluarga mereka bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Tidak apa-apa
melakukan tindakan itu kalau demi menolong orang lain, apalagi keluarga mereka
sudah bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, sebagaimana pernah dilakukan saat
mereka memasang pompa air.
Bapak Dini terlibat dalam gerakan bawah tanah. Dini sering
mendapati dia berunding sembunyi-sembunyi dengan orang-orang tidak dikenal di
kebun sekitar rumahnya pada malam hari. Pak Sarosa, paman Dini, masuk ke
Semarang dengan menyamar dan melalui jalan-jalan tikus. Anak-anak dilarang
berbicara tentang kehadirannya di rumah pada orang lain. Saat situasi memanas,
bapak Dini, Kang Marjo (suami Yu Saijem), dan beberapa orang lelaki yang
tinggal di rumah mereka ditangkap Sekutu. Penangkapan ini kemudian berdampak
buruk pada kesehatan bapak Dini secara umum. Sementara itu, ada warga yang
mendadak menjadi kaya tanpa dijelas sebabnya. Menjelang pendudukan berakhir
rumah warga itu dibakar. Mereka inilah yang dianggap mata-mata yang terlibat
dalam penangkapan bapak Dini dan yang lainnya. Teguh, kakak Dini,
menyukuri-nyukuri nasib sial yang menimpa mereka. Pada saat inilah Dini
mendapatkan etika untuk bersikap adil. Bapaknya menegur Teguh karena sikapnya.
Situasi perang yang mendesak orang untuk menjadi kolaborator musuh atau tetap
memberontak merembetkan rasa permusuhan atau rasa persahabatan, bergantung pada
kepentingannya.
Langit dan Bumi Sahabat Kami mengajukan persoalan etika
ekonomi, politik, dan seks dalam situasi perang, dan menyatakan pendapat tentang
suatu faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan akan sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar