Judul Buku
|
:
|
Anak Perawan Di Sarang Penyamun
|
Penulis
|
:
|
Sutan Takdir Alisjahbana
|
Penerbit
|
:
|
Dian Rakyat
|
Tahun Terbit
|
:
|
1997 (terbit pertama kali tahun 1941)
|
Anak Perawan Di Sarang Penyamun berisi penyesuaian diri
seorang perempuan, duka seorang ibu, tipu muslihat seorang lelaki, dan serangkaian
kematian sekelompok lelaki setelah suatu penyamunan di hutan Sumatera Selatan.
Sekelompok lelaki itu adalah penyamun yang tinggal di suatu
hutan yang berada di antara Lahat dan Pasemah. Mereka berlima, yakni Medasing
(pemimpinnya), Amat, Sohan, Sanip, dan Tusin. Kecuali Medasing, latar belakang
hidup penyamun itu tidak disebutkan. Bahkan, hanya Medasing yang batinnya
digali. Sebelum bergabung dengan gerombolan penyamun itu, Medasing adalah
seorang anak yang rumahnya disamun oleh penyamun. Dia dibawa oleh penyamun itu,
lalu dididik oleh mereka. Pada akhirnya, dia menjadi seorang penyamun yang liar.
Lelaki yang bermuslihat itu adalah Samad. Dia adalah mata-mata
gerombolan Medasing di kota. Dialah yang memberi tahu mereka kalau ada target
yang bisa disamun. Dia memiliki istri dan dua anak yang tinggal di Pulau
Pinang. Tapi, sebenarnya hubungan mereka dingin saja. Hubungan keluarga itu
dianggap Samad hanya sebagai pelepas lelah menjadi mata-mata penyamun. Makanya,
saat dia melihat perempuan cantik yang dibawa oleh gerombolan Medasing, Samad
berniat untuk memiliki perempuan itu. Setelah itu, segala segala gerak-geriknya
adalam aktivitas gerombolan Medasing penuh tipu muslihat.
Ibu yang berduka itu adalah nyi Haji Andun. Dia adalah istri
Haji Sahak, seorang saudagar yang rombongannya disamun oleh gerombolan Medasing
di tengah perjalanan mereka kembali ke Pagar Alam dari Palembang. Dia memiliki
dua anak perempuan, satu kandung satu lagi anak angkat (Sima). Dia memiliki
kakak yang banyak dibantunya secara ekonomi, Bedul. Sepeninggal suaminya, bukan
hanya karena kehilangan, dia juga berduka karena terlilit hutang gara-gara dalam
bawaan suaminya itu terdapat harta titipan.
Perempuan yang menyesuaikan diri itu adalah Sayu. Dia adalah
anak kandung Haji Sahak dan nyi Haji Andun. Dialah yang dibawa Medasing setelah
gerombolannya menyamun Haji Sahak. Pada awalnya dia sedih dan mendendam pada
gerombolan Medasing. Tapi, kemudian setelah agak lama tinggal bersama mereka,
dan telah yakin bahwa mereka tidak akan mengapa-apakannya, dia pasrah dan
bahkan membantu urusan rumah tanggal mereka. Meskipun begitu, pada awalnya dia
sempat ingin melarikan diri. Makanya, dia sempat percaya pada Samad walaupun
kemudian kepercayaan itu rubuh. Setelah tinggal hanya Medasing yang sintas di
antara gerombolan itu, Sayu mengajaknya agar pergi ke Pagar Alam.
Buku ini menunjukkan citra yang menyimpang dari apa yang
lazim diyakini orang tentang penyamun atau komplotan sejenisnya. Di sini
penyamun –dengan Medasing sebagai perwakilannya—digambarkan lebih sebagai
kalangan yang sekadar tinggal di hutan belantara dan hanya tahu menyamun
sebagai satu-satunya cara bertahan hidup. Secara tidak konsisten, mereka
digambarkan kurang mahir dalam mewaspadai tipu daya orang lain. Pada awal
cerita mereka sempat mencurigai Samad kalau-kalau dia sengaja memberi informasi
yang salah tentang Haji Sahak, padahal Samad pun tidak tahu. Tapi, saat
sebenarnya Samad menipu daya, justru mereka –Medasing, lebih tepatnya— sama
sekali tidak menyadarinya. Lebih kentara lagi, kepolosan mereka justru tampak
dalam cara mereka bersikap terhadap perempuan, Sayu. Saat membawanya ke sarang,
Medasing memang bersikap kasar. Tapi, saat Sayu sudah di sana, dia bahkan
ragu-ragu mendekatinya. Naluri seksual tidak sedikit pun tersirat dalam
tindakannya. Di sini penyamun lebih tampak seperti anak rimba yang bertindak
kasar karena tidak tahu ada cara bertindak lain.
Buku ini seolah menyatakan bahwa pengetahuan (dalam arti
yang luas) diperoleh manusia lewat belajar. Bahkan, hal semacam seks pun tumbuh
karena dipelajari terlebih dahulu. Gerombolan Medasing sama sekali tidak tampak
memiliki naluri seksual, sedangkan Samad melakukan tipu muslihat pada mereka
dan Sayu dilandasi oleh naluri seksual. Perbedaan di antara mereka adalah
gerombolan Medasing tinggal di hutan, tidak bersentuhan dengan peradaban,
kecuali kalau mereka sedang menyamun, sedangkan Samad terbiasa tinggal di
tengah peradaban. Di sini, berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, naluri
seksual didapatkan Samad bisa jadi dari interaksinya dengan peradaban.
Gerombolan Medasing yang tidak pernah mempelajarinya dari peradaban tidak
memiliki naluri seksual. Hal yang lain adalah siasat dan, lebih jauh lagi,
muslihat. Gerombolan Medasing memang bersiasat saat hendak menyamun agar
pelaksanaannya lebih mudah. Mereka memiliki mata-mata untuk mencari informasi
dan membagi tugas saat hendak menyamun. Tapi, di sini mereka digambarkan tidak
tahu bahwa manusia bisa bersiasat dalam batinnya. Di sisi lain, Samad (sekali
lagi) orang yang telah bersentuhan dengan peradaban digambarkan sangat penuh
muslihat dalam batinnya. Bahkan, siasat dalam batin (dalam arti yang positif)
digunakan Sayu untuk menyesuaikan diri dengan gerombolan Medasing. (Sekali
lagi) di sini kemampuan bermuslihat didapatkan seseorang dari interaksinya
dengan peradaban. Buku ini seolah menyatakan bahwa saat lahir, manusia adalah
suatu wadah kosong. Apa pun yang kemudian berkaitan dengannya didapatkan lewat
belajar.
Di sini hutan seolah dijadikan lambang bagi keperawanan dan
peradaban seolah dijadikan lambang bagi sesuatu yang tidak lagi perawan. Kalau
ditarik garis tegas, hutan diwakili oleh gerombolan Medasing, sedangkan
peradaban diwakili oleh Samad. Di antara dua kutub itu berdiri Sayu dan nyi
Haji Andun. Sayu condong pada kutub hutan, sedangkan nyi Haji Andun condong
pada kutub peradaban. Sebelumnya gerombolan Medasing, Sayu, dan Samad sudah
dibahas. Sekarang giliran nyi Haji Andun dibahas. Hal yang ditimbulkan oleh
peradaban dalam pada nyi Haji Andun adalah kepemilikan dan gengsi. Yang dia
khawatirkan saat dililit hutang adalah kehilangan segala benda yang telah
dimilikinya. Selain itu, dia tidak mau menerima tawaran Bedul untuk tinggal bersamanya
karena selama itu dialah yang
menolong-nolong Bedul. Dia pun merasa terganggu dengan pandangan orang-orang
atas dirinya sepeninggal Haji Sahak. Makanya, dia memutuskan untuk tinggal jauh
dari kampungnya setelah segala hartanya dijual untuk membayar hutangnya.
Hal-hal yang ditimbulkan peradaban lebih menimbulkan kesulitan bagi seseorang
daripada hal-hal yang berkaitan dengan hutan.
Lewat penyandingan Medasing dan Samad, buku ini hendak
mengajukan persoalan benar dan salah. Pada akhirnya Medasing, yang telah
kembali ke peradaban dan mengganti namanya menjadi Karim, hidup bahagia dan
menjadi orang terpandang –dia menjadi seorang pesirah, sedangkan Samad hidup
susah. Ketika mereka bertemu kembali, Medasing tetap menolong Samad. Di sini
hitam dan putih digambarkan secara tegas. Yang berbuat buruk, Samad, akan hidup
susah, sedangkan yang berbuat baik, Medasing, akan hidup bahagia. Tapi,
sayangnya, proses menuju kemenangan ini –anggaplah demikian— kurang dijelaskan.
Setelah Medasing dan Sayu kembali ke peradaban, cerita langsung lompat ke
kemenangan ini.
Anak Perawan Di Sarang Penyamun adalah suatu kisah yang
berusaha untuk mengajukan persoalan-persoalan besar (murni dan ternoda, benar
dan salah). Tapi, hasrat untuk memenangkan salah satu kubunya justru membuat
kemenangannya kurang terjelaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar