Sambil Menyelami Petualangan Pemikiran Ben Anderson,
Minum Air Laut Bernama Kajian Wilayah
Judul Buku: Hidup di Luar Tempurung
Penulis: Benedit ROG Anderson
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun Terbit: 2016
Akhir tahun 2017 sampai awal tahun 2018 linimasa FB saya
diramaikan oleh kabar tentang pernyataan bahwa jatah beasiswa LPDP untuk bidang
sains dan teknologi akan diperbanyak sedangkan ilmu sosial sebaliknya.
Keputusan ini diambil berdasarkan kebijakan pemerintah yang bertitik berat pada
ranah industri. Beberapa pihak yang berseberangan menyatakan bahwa keputusan
itu menggambarkan kecenderungan orang Indonesia yang lebih memperhatikan
hal-hal yang kasat mata belaka, seperti yang dikemukakan juga oleh Dendy
Raditya di Tirto.id. Dalam keadaan
demikian saya jadi ingat otobiografi Benedict Anderson, Hidup Di Luar Tempurung.
Dalam buku ini, khususnya pada Bab 2 yang berjudul “Kajian
Wilayah”, terdapat paparan panjang-lebar tentang pengaruh kedudukan Amerika
Serikat pasca-Perang Dunia II terhadap perkembangan program Kajian Wilayah Asia
Tenggara di universitas-universitas di sana. Sebelum Perang Dunia II kebanyakan
penelitian sosial tentang Asia Tenggara dilakukan oleh orang-orang yang punya
latar belakang birokrat di negeri-negeri itu. Perang Dunia II lewat dan AS
menjadi negara adidaya. Kedudukan ini ditambah Perang Dingin yang memanas serta
persoalan-persoalan di kawasan Asia (misalnya, Tiongkok, Korea, dan Timur
Tengah) membuat AS merasa perlu mengetahui keadaan negara-negara Asia Tenggara.
Perang Vietnam, selain melahirkan gerakan anti-perang di kalangan mahasiswa,
turut meningkatkan minat terhadap Asia Tenggara. Dalam keadaan demikian,
yayasan-yayasan semacam Ford dan Rockefeller, CIA, dan Departemen Luar Negeri
AS menyokong penelitian-penelitian politik dan ekonomi negara-negara di luar
Amerika dan Eropa Barat, termasuk Asia Tenggara. Lalu, pendek kata, Cornell dan
Yale menjadi dua universitas dengan program Kajian Asia Tenggara yang
terkemuka. Cornell dengan jurnal Indonesia-nya
menjadi rujukan banyak peneliti tentang Indonesia.
Selain keadaan, Ben juga memaparkan peran orang-orang dalam
mengembangkan program Kajian Asia Tenggara pada masa itu. Lauriston Sharp,
direktur pertama program Kajian Asia Tenggara Cornell, dan George Kahin, orang
yang memiliki banyak kontak di Washington dan juga aktif melakukan
advokasi-advokasi politik, dianggap berperan penting dalam mengkader orang-orang
mumpuni (salah satunya Claire Holt) untuk mengajar beragam mata kuliah
berkerangka komparatif dan interdisipliner di program Kajian Asia Tenggara dan
menarik dana dari Ford dan Rockefeller. Keduanya bahkan dianggap lebih terampil
mengelola program Kajian Asia Tenggara daripada Karl Pelzer dan Harry Benda,
dua dedengkot program Kajian Asia Tenggara di Yale. George Kahin sendiri,
secara pribadi maupun profesional, digambarkan sangat positif oleh Ben dalam
buku ini. Sikap Ben yang mengakui peran penting individu-individu dalam
menggerakkan sejarah ini bisa ditelusuri sampai pengalamannya mewawancarai
Tadeshi Maeda untuk disertasinya.
Pada salah satu bagian bab “Interdisipliner” Ben
menceritakan pengalamannya ditolak saat mengusulkan untuk menyelenggarakan mata
kuliah sejarah ilmu politik di program perbandingan politik. Menurutnya, mata
kuliah sejarah suatu disiplin ilmu penting untuk memberi kesadaran tentang
asal-usul, perkembangan, dan batasan-batasan suatu bidang keilmuan. Agaknya
buku Hidup Di Luar Tempurung adalah
kompensasi Ben atas peristiwa itu. Sebab, buku ini bisa juga disubjuduli
“sejarah kajian wilayah di universitas-universitas di Amerika”. Di atas sudah
dipaparkan secara singkat tokoh dan latar belakang politik perkembangan jurusan
kajian wilayah.
Pada bab yang sama terdapat paparan tentang pengaruh
industrialisasi (dan sistem pembagian kerja yang terspesialisasi) pada abad
ke-19 terhadap pemberlakuan disiplin ilmu di universitas. Proses pendisiplinan
ilmu ini makin tegas dengan munculnya asosiasi-asosiasi yang “mewakili”
disiplin ilmu tertentu dan sistem pengalokasian dana terhadap jurusan berbasis
disiplin ilmu. Kritik Ben terhadap kerangka disipliner semacam itu terangkum
oleh pernyataan, “Nyatanya, ide ini murni khayalan, karena ilmu pengetahuan
sendiri berubah sepanjang waktu dan ke banyak arah yang berbeda.” (hlm. 136)
Meskipun terasa seperti buku sejarah kajian wilayah berkedok
otobiografi, buku ini tetap memaparkan perjalanan intelektual pribadi Ben.
Kecenderungan Ben untuk mengamini kerangka perbandingan dan
menggunakan pendekatan interdisipliner ini berutang pada lingkungannya. Sejak
di lingkungan rumah dia dididik untuk mengenal hal-hal dari orang-orang yang
berbeda bahasa, wilayah, zaman. Di Cambridge dia kuliah Studi Klasik yang
menurutnya adalah gado-gado dari ilmu sejarah, arkeologi, sastra, filsafat,
filologi, dan sejarah seni. Meskipun di sana-sini dia menyatakan ketidaksukaan
terhadap AS, dia berutang juga pada kecenderungan pragmatis dan praktis dalam
tradisi universitas di AS. Kajian Asia Tenggara adalah suatu program yang
dilandaskan pada maksud pragmatis. Untuk mengkaji seluk-beluk Asia Tenggara
program ini menggunakan beragam disiplin ilmu, walaupun pada mulanya kebanyakan
adalah ilmu politik dan antropologi. Dan Ben banyak bergelut secara intelektual
di program ini.
Dalam buku ini terdapat pembahasan tentang sejumlah karya
Ben. Dia membahas riset pustaka dan wawancara-wawancara dalam rangka penulisan Java in a Time of Revolution: Occupation and
Resistance, 1944-1946 beserta kesadaran barunya tentang pemuda dan
bantahannya atas tesis George Kahin. Sekilas dibahas juga latar belakang
tulisannya tentang kudeta Indonesia 1965 dan kudeta Thailand 1976 beserta
reaksi berbeda yang didapatkannya. Di Indonesia dia dicekal, sedangkan di
Thailand tidak. Dia juga memaparkan ringkasan bukunya tentang hubungan antara
sastra dan politik Thailand, artikel telaah resepsi atas dua film Apichatpong
Weerasethakul, dan artikel antropologi tentang sebuah kuil Buddha eksentrik di
Thailand.
Tapi, di antara seluruh karyanya yang dibahas dalam buku ini
tidak ada yang dibahas serinci Imagined
Communities. Perhatian Ben terhadap nasionalisme bisa dilacak sampai pada
masa-masa dia mempertimbangkan untuk memilih kewarganegaraan mana yang akan
dipilihnya pada pertengahan tahun 1960-an. Pemikiran George Kahin, orang yang
dihormati Ben, tentang nasionalisme dan revolusi di Indonesia yang sudah terbit
jauh sebelum Ben datang ke Cornell (tahun 1950-an) tidak mungkin tidak menyulut
minatnya terhadap persoalan nasionalisme.
Sasaran pembaca Imagined
Communities adalah kalangan pembaca intelektual Inggris yang sejak akhir
tahun 1970-an menyimak perdebatan tentang nasionalisme. Ben memetakan kubu-kubu
politis dalam perdebatan itu. Dari ujung kiri sampai ujung kanan, dari kubu
yang berpendapat bahwa nasionalisme modern berasal dari kelompok-kelompok etnis
yang telah lama ada sampai kubu yang berpendapat bahwa nasionalisme adalah buah
dari industrialisasi dan modernitas. Di tengah kalangan ini Ben ingin menyerang
pandangan bahwa nasionalisme bermula di Eropa dan menyebar ke seluruh dunia.
Dia juga ingin mengemukakan peran kapitalisme cetak dalam penyebaran
nasionalisme. Selain itu, dia juga ingin menjelaskan bagaimana bisa
nasionalisme mempunyai daya emosional yang sedemikian kuat. Di sisi lain,
bayangan tentang sasaran pembaca itu juga yang membuat Ben mengisi Imagined Communities dengan referensi
dan lawakan yang Inggris, hal yang membuat sebagian orang berpendapat buku itu
sulit diterjemahkan.
Keadaan lingkungan yang memungkinkan Imagined Communities jadi sedemikian rupa adanya tidak luput dari
pembahasan. Menurutnya, iklim universitas akhir 1970-an dan awal 1980-an yang
belum seterpaku itu terhadap pasar tenaga kerja seperti sekarang
memungkinkannya menuliskan karya semacam itu. Sementara itu, pencekalannya oleh
pemerintahan Suharto sehingga dia “terbuang” ke Thailand dan karya sejarah
adiknya, Perry Anderson, berperan besar dalam menggiringnya menuju kerangka
perbandingan. Lebih jauh, karya Perry mengilhaminya untuk berpikir secara
internasionalis, tidak lagi nasionalis Timur vs. Barat sebagaimana yang
tercermin dalam pandangannya di “The Idea of Power in Javanese Culture”. Pengalaman
Ben menghabiskan waktu dengan “kebudayaan” (baca: seni tradisional) Indonesia
pada masa kerja lapangannya berpengaruh pada pembahasan hubungan “kebudayaan”
dan politik dalam Imagined Communities
di tengah masa hal semacam itu tidak lazim dilakukan dalam penelitian.
Secara gamblang pula Ben mengemukakan pertanyaan-pertanyaan
yang kemudian berujung menjadi Imagined
Communities dan buku-buku yang digunakannya sebagai perangkat intelektual
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dia merincikan mana saja gagasannya
yang dipengaruhi buku-buku tersebut. Karya para tokoh ekonomi-politik,
sejarawan, antropolog, filolog, filsuf, sampai novelis yang dirujuknya itu
tidak satu pun yang membahas nasionalisme tetapi dipakainya sebagai piranti
pemecah masalahnya. Lewat paparan ini juga sekali lagi dia menyiratkan manfaat
pendekatan interdisipliner.
Ben juga memaparkan tanggapan terhadap Imagined Communities baik pada saat masa terbitnya maupun pada masa
cukup jauh setelahnya. Dia tidak heran ketika bukunya mendapatkan tanggapan
dingin di Amerika karena dia memang meniatkannya untuk pembaca Inggris. Barulah
tanggapan di Amerika itu berubah pada akhir 1980-an, pasca ambruknya Uni
Soviet. Karena meningkatnya perhatian terhadap “nasionalisme yang berbahaya
untuk Amerika”, Ben lantas dianggap sebagai “teoritikus” nasionalisme yang
dibutuhkan padahal sebelumnya dia hanya dianggap sebagai orang kajian wilayah
belaka.
Dalam pembahasan sejumlah karyanya terdapat perkembangan
minat terhadap bentuk komunikasi global. Imagined
Communities mengandung pembahasan buku sebagai penyampai gagasan
nasionalisme. Under Three Flags
membahas peran kapal uap dan telegram dalam gerakan anarkisme global. Di
penghujung Hidup Di Luar Tempurung
Ben membahas Google sebagai simbol globalisasi Amerika.
“Kian banyak negara yang berupaya mempertalikan dana hibah
riset dengan agenda kebijakannya sendiri.” (hlm. 184) Bagian inilah yang
menghubungkan buku ini dengan kabar tentang LPDP itu. Sementara di buku
konteksnya adalah peningkatan alokasi dana Amerika terhadap kajian terorisme
dan kajian Islam, konteks yang kita hadapi adalah kajian yang berkaitan dengan
sains dan teknologi karena itulah yang dianggap diperlukan oleh pemerintah.
Tapi, di sisi lain, kalau kita mau bicara soal apa yang diperlukan, saya jadi
teringat soal guyonan Presiden Jokowi pada beberapa kesempatan. Katanya, kita
membutuhkan jurusan yang mengkaji meme. Banyak yang menyatakan bahwa hal itu
adalah bagiannya fakultas ilmu komunikasi. Tapi, yang ingin saya katakan adalah
kita sebenarnya sudah punya bidang yang membahas “meme jadul” yakni folklor. Tapi,
toh, sekarang bidang itu seakan-akan ketinggalan zaman sekali. Belum lagi kalau
kita bicara soal kecenderungan untuk menggunakan pariwisata sebagai pendompleng
pendapatan negara. Kalaupun kita mesti berpikir secara pragmatis, ya, ilmu-ilmu
sosial berdaya juga untuk meneliti hal-hal semacam itu. Tapi, kok seakan-akan
ilmu sosial dianggap tidak berguna.
Suatu kali saya pernah membaca sebuah artikel. Katanya, banyak anak sekolah di Jepang bercita-cita menjadi
ilmuwan karena menonton serial Kamen Rider. Hidup
Di Luar Tempurung ini bisa diumpamakan sebagai serial Kamen Rider itu
sendiri. Tapi, memang yang minat terhadap Kamen Rider Ben Anderson ini tidak
sebanyak anak sekolah yang suka nonton Kamen Rider itu. Jadi, apakah kita perlu
membuat serial Kamen Rider yang menyelipkan ilmu-ilmu sosial supaya lebih
banyak orang lagi yang merasa ilmu sosial itu keren dan berguna, dan terutama supaya
pemerintah menganggap ilmu sosial itu pantas didanai?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar