Judul Buku
|
:
|
Kemelut Hidup
|
Penulis
|
:
|
Ramadan K.H.
|
Penerbit
|
:
|
Pustaka Jaya
|
Tahun Terbit
|
:
|
1977
|
Kemelut Hidup berisi upaya seorang pensiunan pegawai negeri
untuk tetap bisa membiayai keluarganya dan mengatasi segala persoalan yang timbul
karena pensiunnya itu dalam bolak-baliknya antara Bandung-Jakarta.
Pensiunan itu adalah Drs. Abdurrahman Prawiradikusumah. Sebelum pensiun dia adalah pejabat tinggi di suatu departemen yang berhubungan dengan tenaga kerja –dia tahu tentang info suatu jabatan di ILO—dan pabrik –semasa menjabat dia punya wewenang untuk memberi izin operasi suatu pabrik (kemungkinan departemen tenaga kerja dan transmigrasi atau departemen perindustrian). Nama panjangnya dan informasi tentang almarhum bapaknya yang disebutkan dalam kata sambutannya di hari pensiunnya menyiratkan latar belakangnya: dia berasal dari keluarga menak. Gelar yang mendahului namanya berasal dari studinya sebagai sarjana ekonomi. Istrinya bernama Ina, seorang ibu rumah tangga. Mereka punya enam anak. Abdurrahman masih sering berkumpul dengan saudara-saudaranya dan masih berhubungan dengan ibu tirinya, Bi Tini, yang sudah menikah lagi.
Untuk mengatasi persoalan ekonomi keluarga yang setelah dia
pensiun menjadi sangat mendesak, Abdurrahman menempuh bermacam-macam jalan:
mencari kerja lagi, berusaha mengklaim haknya atas tanah warisan ibunya, dan
meminjam uang pada ibu tirinya. Sementara itu, Abdurrahman pun dihadapkan pada
masalah hubungan dengan keluarganya. Ina serong dengan suami baru ibu tirinya,
Sukanda. Susana, anaknya yang kedua, menjadi pelacur. Aminah, anaknya yang lain,
pulang lebih cepat dari studi di Belanda dalam keadaan gila dan hamil tanpa
diketahui siapa bapak jabang bayinya. Semua itu berkelindan menjadi suatu
kemelut hidup Abdurrahman.
Buku ini menunjukkan bahwa ekonomi, sosial, dan politik
saling timbal balik menjadi sebab-akibat. Barang siapa yang memiliki kedudukan
tinggi secara ekonomi dialah yang memiliki kuasa secara sosial dan politis. Misalnya,
Sukanda mampu memerintah Ina untuk berhubungan seks dengannya karena dia memiliki
uang yang dibutuhkannya. Karena kedudukan ekonominya tinggi, Sukanda mendobrak
relasi sosialnya dengan Ina, istri anak tiri istrinya. Politik dan hubungan
sosial adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Misalnya, Suhandar,
sebagai saingan Abdurrahman dalam mencari kerja di suatu pabrik susu di
Cibinong, mewajarkan dirinya memberi keterangan keliru tentang Abdurrahman
–bahwa Abdurrahman wafat dalam kecelakaan yang menimpanya, sehingga dialah yang
diterima di pabrik itu. Contoh lain: beberapa saudaranya menyesali Abdurrahman
yang tidak mempekerjakan anak-anak mereka di tempatnya saat dia masih dinas di
departemen, padahal pejabat-pejabat lain melakukannya.
Lewat kelindan antara ekonomi, sosial, dan politik itu, buku
ini mengangkat persoalan etis. Persoalan-persoalan ini dijawab lewat
tindakan-tindakan Abdurrahman. Saat masih dinas, Abdurrahman menilai bahwa
memasukkan kenalan-kenalannya ke tempat yang berkaitan dengan departemennya
atau mengizinkan keluarga untuk memakai fasilitas dinas adalah sesuatu yang
salah. Setelah dia mengalami kemelut pasca-pensiun, penilaian itu goyah. Dalam
upaya mengklaim haknya atas tanah warisan ibunya, pada awalnya Abdurrahman
berniat untuk menyelesaikannya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Lalu,
dia menyadari bahwa kedudukannya dalam kasus ini kurang menguntungkan. Pada
akhirnya dia mewajarkan penyogokan. Dulu, saat pertama kali mengetahui Susana
melacur, Abdurrahman murka. Susana melacur karena dorongan ekonomi. Lama
kemudian, setelah menghilang, Susana kembali dalam keadaan yang lebih mapan
darinya. Abdurrahman menerima dukungan ekonomi Susana yang didapat dari hasil
melacur. Apakah semua cara boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi?
Pada awalnya, tindakan-tindakan Abdurrahman menyiratkan jawaban ‘tidak’. Ada
cara-cara yang tidak baik dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Tapi,
setelah mengalami kemelut pasca-pensiun, jawaban itu berubah jadi ‘ya’. Dalam
keadaan yang mendesak semua cara boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi. Meskipun demikian, agaknya Ramadhan KH masih condong pada jawaban
‘tidak’ sehingga untuk memberikan ‘rasa keadilan’ dia menghukum dulu
Abdurrahman dengan cara mencelakakannya setelah Abdurrahman menyogok jaksa dan
hakim, dan membuatnya melewatkan suatu kesempatan kerja karena kecelakaan itu.
Kemelut Hidup menunjukkan bahwa walaupun tekanan ekonomi
mempengaruhi hubungan sosial dan politik, dan cenderung menihilkan nilai,
seseorang harus berusaha bersikap normatif atau kalaupun memutuskan untuk tidak
bersikap normatif, bersiap-siaplah untuk mendapatkan ‘hukuman’ sebagai
penyeimbang.
Terimakasih informasinya...sangat membantu
BalasHapus